Kumpulan Cerpen Jenjang SMP-SMA
KUMPULAN CERPEN
OLEH: ANANDA31
Cerpen 1
Cerita
oleh: Ananda31
Sebagai siswa tahun ke-tiga di SMA ini tentu aku sudah
melihat banyak…banyak sekali hal dan perubahan yang terjadi di sekolah ini,
tapi dari begitu banyak perubahan itu, yang paling kuperhatikan hanyalah
perubahan moral dari para peserta didik di sekolah ini. Semakin tahun itu semakin
berubah, tapi bukan mengarah pada peningkatan, melainkan itu semakin mengarah
kepada kemerosotan.
Kejadian ini adalah bukti nyata yang pernah kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Tak ada kabar maupun kasus yang sampai seperti itu yang pernah kutemui di tahun-tahun sebelumnya. Itu seharusnya tak mungkin terjadi, tapi jika dilihat dari realita jaman sekarang, ya…, ini sangat mungkin untuk terjadi.
“TAP!”
“Hei, kamu ngapain? Kucariin dari tadi kamu!” sapa seseorang setelah menepuk pundak kananku dari belakang dengan keras.
“OH! Bikin kaget aja kamu, Nok!”
Pria besar berkulit hitam yang sekarang tepat berada
di depanku ini adalah Tono, Ia adalah teman dekatku, meski kami baru-baru saja
berteman. Ia dulu dikenal sebagai “Raja” di sekolah ini, meski sekarang ini Ia
tak lebih dari sekedar seorang siswa biasa. Bagai raja yang telah direbut
mahkotanya, tak mungkin ada perubahan ekstrim seperti itu jika tak ada hal
besar yang telah terjadi padanya.
“Kamu bengong pasti lagi mikirin si Ayu ya?” tanya
Tono. Seperti biasa, nada dan ekspresinya selalu berkesan mengejek.
“Ayu? Mana mungkin...Ngaco kamu!”
Putri Rahayu. Ia murid tahun pertama yang langsung
ditransfer dari SMP ter-unggul di kota ini, yang menjadi impian bagi semua
orang untuk memulai pendidikan menengah mereka. Kemampuan akademiknya sangatlah
tinggi, sampai-sampai ia dianggap orang indigo karena kemampuan itu, Ia juga
populer di kalangan pria di sini. Bukan hanya murid, bahkan guru pun
mendekatinya. Ia memang cantik, terlebih saat menggunakan kacamata dan rambut panjang
tergerai seperti biasanya, meski dengan kepopulerannya itu Ia tetap saja sangat
ramah dan sangat terbuka juga bila didekati oleh seseorang, bahkan oleh
seseorang yang benar-benar tidak mencolok sepertiku.
“WOI…Bengong lagi kan!”
“Berarti sudah jelas! Mending jangan ngelak kamu!”
Jujur, aku sudah sedikit kesal dengannya saat Ia
mengatakan hal itu. “Ah iya, iya! Kebetulan aku sempat kepirian dia pas kamu
sebut namanya barusan!”
“Tuh kan!” balasnya lalu duduk di pada sebuah bangku
di seberang meja kecil tepat di hadapanku, “Ngomong-ngomong gimana? Ada rencana
buat nembak?”
“Jangan bodoh, dia itu populer! Mana mungkin Ia mau
dengan orang sepertiku!” Topik seperti ini sebenarnya sangat memalukan bagiku
untuk dibahas. Kutahu Tono takkan setuju dengan jawabanku barusan, itu bisa
kulihat dengan jelas dari ekspresinya yang akan melontarkan ejekan yang keras,
tapi untung saja bel tanda masuk kelas segera berbunyi sehingga mengalihkannya.
“Yahh, perasaan baru juga lima menit!”
“Lima menit? Kita sudah istirahat sebelum jadwal, dan
juga istirahatnya sendiri sudah molor empat menit loh!” Kini giliranku yang
mengejeknya.
“Rik..Erik, kalo masalah waktu kamu itu beneran
disiplin ya!”
Kutahu itu bukan pujian, tapi aku tetap menjawabnya
dengan terimakasih, dan setelah itu kami berpisah untuk pergi ke kelas
masing-masing.
Aku sudah menduganya, bahwa aku akan menjadi orang
yang duduk di bangku kelas ini pertama kali, jika dihitung kembali dari sesaat
aku duduk di sini, seharusnya proses pembelajaran sudah dimulai sejak tujuh
menit yang lalu.
Aku duduk di bangku pojok kanan terbelakang di kelas
ini, sehingga saat jam pelajaran berlangsung aku bisa mengetahui dengan jelas
apa saja tindakan teman-teman sekelasku. Mengobrol, bermain handphone, tidur,
bahkan saling bercanda, itu yang paling umum, namun aku tak sepenuhnya
menyalahkan mereka, karena sejujurnya guru yang tengah berada di depan itu
hanya menerangkan materi, seolah tugasnya hanyalah mempresentasikan dan bukan
mengajar. Saat tahu para siswanya tak menengarkannya atau heboh sendiri, yang Ia
lakukan hanyalah memanggil nama siswa tersebut lalu berkata “dengarkan”.
Setiap hari di sekolah ini selalu kulihat hal yang
sama dengan hari sebelumnya, para siswa yang berkedisiplinan dan bermoral
rendah serta para “presenter” yang membosankan, jikalau ada perubahan yang
terjadi itu sudah pasti, seperti yang kubilang sebelumnya, hanyalah sebuah
kemerosotan.
Metode itu sebenarnya juga berdampak positif, tapi
hanya bagi mereka yang memiliki kemauan dan kemampuan yang tinggi, itu bisa
dibuktikan dengan nilai hasil ujian dan prestasi akademik yang dicapai sekolah
kami dari tahun ke tahun, itu menunjukkan kenaikan di sedikit aspek.
Tapi jika hanya mencari kepintaran, mengapa tidak
berguru pada robot saja? Robot sudah jelas memiliki kepintaran yang luar biasa
yang dibuat oleh orang-orang yang jenius, dengan begitu akan sempurna bukan
jika belajar dengannya? Tapi apakah Ia juga bisa mengajarkan dan memperlihatkan
budi pekerti? Tentu mustahil!
Jika dipikir itu adalah kesalahan yang sangat besar.
Bukan kepintaran yang utama dibutuhkan para peserta didik, melainkan pendidikan
moral dan budi pekerti. Kedua hal itu menurutku sudah mulai tersingkirkan,
bahkan di sekolah ini sudah tak ada lagi pelajaran budi pekerti, sedangkan
pelajaran moral hanya disampaikan dengan “dibaca” saja.
Saat ujian berlangsung di sekolah ini, para siswa
berlomba lomba membuat catatan kecil alias sebuah contekan, atau setidaknya
mereka melakukan diskusi kecil langsung atau melalui media demi mendapatkan
contekan.
Nilai akademik adalah segala-galanya dalam dunia
pendidikan di negara ini, meski mereka juga berkata bahwa nilai sikap dan
moral-lah yang terpenting, tapi aku meyakini itu sebagai sebuah omong kosong.
Lihatlah realitanya! Bukan hanya dalam dunia pendidikan, bahkan di dunia kerja
pun nilai akademik lah yang paling utama.
Parahnya sekarang untuk mendapatkan nilai-nilai
akademik yang sempurna tak hanya bisa didapatkan melalui kerja keras saja,
melainkan itu juga bisa didapatkan secara singkat dan pasti dengan uang. Tak
ada skill yang bisa dibuktikan saat tes itu tak masalah, jika ada uang maka
semuanya bisa diselesaikan di negara ini.
“Hah, untuk apa aku terlalu memikirkan hal-hal itu,
aku bukanlah orang yang memiliki “kekuatan”, apa yang bisa kuperbuat?” kataku
dalam hati. Meski sekarang ini jam pelajaran sedang berlangsung, tapi aku bisa
memikirkan hal sebanyak itu.
“Baiklah, sekian jam ibu. Untuk PR-nya kalian kerjakan
soal pilihan ganda dan uraiannya di halaman tiga puluh tiga, jangan lupa
sertakan alasan mengapa kalian memilih pilihan itu!”
Ya seperti itulah, guru hanya masuk, membaca, lalu
keluar dengan memberikan tugas secara “spam”. Tentu banyak yang mengeluhkan
saat guru itu memberikan tugas itu. Biasanya hanya mereka yang cerdas saja yang
bekerja, sedangkan yang lain hanya menggunakan sistem copy-paste dari pekerjaan
itu. Jangan khawatir, karena hanyalah nilai akademik yang akan dipandang!
“Rik, ntar kita kerjain PR-nya bareng yuk, kamu kan
ranking satu di kelas ini!”
“Tentu!” Jawabku. Ia yang berbicara barusan denganku
adalah pemimpin dari elit pintar di kelas ini. Aku sendiri tak tergabung di
dalam kelompok mereka, keadaan seperti ini juga biasa terjadi, meski di luar
keadaan ini mereka sangat menjauhiku karena ketidakpunyaanku.
“Gimana kalo kita mulai nanti sore sepulang sekolah?”
“Ah, saat itu sepertinya aku tidak bisa! Aku membantu
orang tuaku saat itu” jawabku
“Halah, begitulah Erik, selalu saja sok sibuk!”
“Penting mana sih sama nilai sekolahmu? Kan kalo gak
lulus malah orang tuamu yang lebih sakit!”
Ya seperti itulah, begitulah rasa toleransi yang
diperlihatkan kepada sesama.
“Ya kutahu itu, tapi jika kalian tak setuju maka aku
tak akan bisa!” Aku tahu jawabanku barusan bisa menyinggung mereka, tapi jika
aku menunjukkan kelemahan dan mengalah mereka tentu akan mendominasiku bukan?
“Ya udah sih, kami juga gak maksa!”
“Ngapain juga kita masih mau ngumpul sama orang
sombong macam kamu!?”
“Mau juga dibilang pahlawan! Menjijikan!”
“Ya pergi saja sana sudah! Kan kalian yang memintanya
duluan!” Beban kehidupan yang ditanggung setiap orang itu berbeda, seharusnya
tidak ada yang berhak menyangkal itu, tapi ya begitulah. Hal semacam ini tentu
bisa menjadi pendorong munculnya konflik yang serius.
Mungkin sama dengan dia yang tengah menangis di sana,
jika disimpulkan semuanya mungkin berawal dari pendidikan yang hanya
mengutarakan nilai akademis dan mengabaikan pendidikan moral, dengan itu
menyebabkan runtuhnya nilai moral tersebut, sehingga pada ujungnya hal seperti
yang tengah kulihat inilah yang terjadi.
Mungkin sudah terlambat jika kupikirkan itu sekarang,
yang jelas itu sudah sangat nyata. Lebih baik ku menghampirinya sekrang.
“Sudah kuduga itu kau…Bagaimana bisa kau sampai
berdarah-darah seperti ini, Ayu?”
“S-siapa kau?... A-aku tidak berdarah!”
“Aku Erik, kita sudah pernah mengobrol beberapa kali
sebelumnya!” Dia sudah jelas sangat ketakutan, dan jika dilihat-lihat sepertinya
Ia tak berbohong.
“I-ini hanyalah saus yang dilarutkan dengan air!”
“Baiklah aku percaya itu, sekarang bagaimana bisa kau
seperti ini?” aku lalu berdiri tepat di hadapannya.
“A-aku hanya menunda kerja kelompok dikarenakan orang
tuaku sedang sakit, lalu entah kenapa mereka meperlakukan ini kepadaku”
Aku sudah menduganya, semua sesuai dengan apa yang
kupikirkan, tapi sepertinya itu tak ada hubungannya dengan suss tomat ini, tapi
sepertinya itu tak perlu kupertanyakan, kuyakin Ia akan sangat malu untuk
menjawabnya.
“U..um, a-anu, mengapa kau menatapku seperti itu?”
Dia memang manis sehingga Ia akan lebih menarik di
mata para lelaki, tapi sebaliknya itu akan membuat perempuan lain merasa iri.
Mungkin saus tomat itu diguyurkan kepadanya dengan tujuan agar ia menjadi lebih
manis ya? Bodoh sekali, bahkan bocah yang belum bersekolah pun bisa menganggap
hal itu sangatlah tak masuk akal.
“Aku tak bermaksud apapun dengan itu!” aku lalu
mengulurkan tangan kananku padanya, “Ayo, bangkitlah!”
Ia tentu dengan ragu meraih tanganku, namun aku
langsung meraih dan menarik paksa tangannya, “Tenanglah, aku pastikan mereka akan
segera membayarnya!”
“Eh? A-apa maksudmu?”
“Bukankah itu sudah jelas?” tanyaku balik
“Apa kau bermaksud menggunakan kekerasan?”
“Apakah menurutmu kekerasan itu adalah cara terbaik?”
tanyaku. Ia sungguh polos.
“A-aku tak berpikir seperti itu…”
“Ya, kau benar… masih ad acara lain” potongku “Aku
akan menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan”
“Bagaimanakah caranya?”
“Tak usah dipikirkan dulu, untuk sekarang aku akan
mengantarkanmu ke rumah! Tapi sebelum itu pakailah jaketku dulu!” Aku melepas
jaketku dan langsung menaruhnya di tubuhnya.
“Kau tak mungkin berjalan dengan pakaian yang terlihat
kotor seperti itu kan!?” tanyaku.
“Ah, i-iya…Terimakasih banyak!”
“Ini juga, gunakan saja tasku ini untuk melindungi
kepalamu!”
Di bawah hujan dan tanpa perlindungan apapun, aku
mengantarkannya pulang.
Tepat dua hari setelah kejadian itu, aku mendengar
bahwa kelima siswi pelaku perundungan kepada Ayu diskors selama satu semester
dari sekolah. Itu cukup mengejutkanku, padahal yang kulakukan hanyalah melaporkan
dan mengajak mereka untuk bertemu pihak BK di sekolah. Sekolah sebenarnya tak
begitu tahu menahu untuk hal seperti ini, tapi jika sudah ada kasus yang jelas,
maka hukuman berat akan dujatuhkan.
Selain itu aku juga menerima surat yang memberitahukan
bahwa Ayu telah keluar dari sekolah ini, Ia dipindahkan oleh orang tuanya ke
sekolah yang amat jauh di negeri orang, Ia juga menuliskan bahwa sekolah itu
adalah sekolah yang paling Ia impikan selama ini.
“Selamat berjuang dan terimakasih banyak atas segala
kebaikanmu!” begitulah kalimat akhir di suratnya sebelum tulisan kanji dan
hiragana yang tak bisa kubaca sama sekali.
“Selamat berjuang juga untukmu” Kuucapkan itu padanya,
meski hanya di dalam hati.
Wajah Lain
Cerita oleh: Ananda31
Libur panjang telah tiba, itu adalah kesempatan yang sangat dinantikan oleh Erik, karena dengan itu Ia bisa memiliki kesempatan untuk berlibur dan bersenang-senang keluar daerah, atau istilahnya travelling.
Dengan antusias yang sangat tinggi Ia langsung berkemas dengan semua barang dan keperluannya, dan setelah semuanya lengkap Ia pun pergi ke bandara di kota seberang karena itulah satu-satunya bandara di daerah tempat tinggalnya.
Seorang diri Ia memasuki bandara, meski itu baru pertama kalinya tapi Ia tetap berperilaku layaknya veteran yang sudah berkunjung ke bandara berkali-kali, meski begitu Ia juga sempat kebingungan saat melakukan check-in. Beruntunglah Ia bersikap layaknya veteran, sehingga Ia bisa menemukan alasan agar tak terlihat “ndeso”.
Setelah perjalanan yang panjang dengan pesawat Ia sampai dan dijemput oleh kedua saudaranya. Jiwanya benar-benar “terbakar” saat itu karena di sepanjang perjalanan kedua saudaranya itu terus bercerita tentang wisata dan penjelajahan, yang dimana hal itu adalah hal yang paling diimpikan oleh Erik, mengingat tak ada wisata atau alam yang bisa dijelajahi secara bebas di daerah tempat tinggalnya.
Baru berselang satu hari Erik langsung mengajak kedua saudaranya itu untuk menjelajah bersama, kebetulan juga kedua saudaranya tersebut merupakan orang yang menyukai perjalanan, dan hari demi hari berlalu berbagai tempat wisata sudah mereka kunjungi. Erik sangat puas akan hal itu, baginya ini adalah sebuah liburan yang paling indah dan berkesan di dalam hidupnya.
Hal yang biasanya Ia lakukan saat liburan di daerah tempat tinggalnya hanyalah berkebun dan membantu orang tua, jika berwisata itu mungkin hanya sesekali saja, dan wisata yang Ia kunjungi hanya begitu-begitu saja. “Sungguh daerah yang sangat membosankan” itulah katanya, dan saat mengetahui bahwa daerah yang “baru” ini begitu luar biasa Ia malah semakin mengutuk daerah tempat tinggalnya itu, bahkan mengatainya sebagai “neraka”. Tentu itu diucapkan dengan pikir pendek dan ketidaktahuan.
Waktu terus berjalan dan tak terasa bahwa liburan sudah semakin menipis, itu semua terjadi karena Erik yang terus berwisata sepanjang waktu. Di akhir liburan kedua saudaranya memiliki rencana ke sebuah air terjun, air terjun tersebut dikatakan sebagai salah satu air terjun terbesar, terindah, dan tertinggi di Asia Tenggara, tentu itu semakin membuat Erik “terbakar” dan langsung menyetujui rencana itu. Tanpa pikir panjang Erik dan kedua saudaranya berangkat menuju ke air terjun itu. Saat itu cuaca sedang mendung, namun siapa yang memperdulikan hal itu.
Sampailah mereka ke lokasi air terjun. Untuk sampai ke air terjun itu para pengunjung dihadapkan oleh dua pilihan jalan, jalan pertama yaitu dengan menuruni tangga bambu hingga ke dasar air terjun sedalam seratus tiga puluh meter, atau menuruni lereng curam dan sangat licin. Mereka yang merupakan “penggila” jelajah tentu memilih jalan kedua karena lebih menantang.
Sekitar dua jam mereka habiskan untuk menuruni lereng itu lalu dilanjutkan dengan menelusuri sungai air terjun sejauh kurang lebih tiga kilometer. Hujan juga sudah semakin deras saat itu, lereng bebatuan di kanan dan kiri kami bisa saja berpotensi longsor jika dipikir-pikir, salah satu saudara Erik menyadari akan hal itu dan langsung mengajak kembali saja, mendengar itu Erik tentu saja kecewa dan ia lalu menolaknya dengan berkata “kita sudah sampai sini loh!”, akhirnya salah satu saudara itu pun mengalah dan berkata “tapi sebentar aja ya!”
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, dan setelah beberapa saat kemudian sampailah mereka di air terjun raksasa itu. Erik yang baru pertama kali ke tempat ini pun sangat terkagum-kagum karena Ia belum pernah melihat air terjun yang begitu besar dan tingginya, ia juga seketika ingin lebih dekat namun penjaga tempat wisata itu melarangnya. “Mas, bahaya kalo kesini hujan-hujan, biasanya bisa banjir bandang di sini!” kurang lebih seperti itulah perkataannya.
Terjadilah perdebatan ringan saat itu dan hasilnya Erik dan kedua saudaranya diperbolehkan mendekat sebentar, namun belum sampai lima langkah mendekat air terjun yang sebelumnya berwarna jernih seketika berubah menjadi berwarna keruh lalu disusul dengan peningkatan debit air yang sangat masif. Melihat itu Erik dan kedua saudaranya beserta seluruh wisatawan yang ada di sana pun seketika pula berlarian demi menyelamatkan diri mereka. Tak peduli dorong mendorong dan saling injak, semua hanya memperdulikan keselamatan diri masing-masing.
Keadaan dibuat semakin kacau dengan jatuhnya batang kayu raksasa dari puncak air terjun, gemuruhnya saat menghantam tanah tentu menghancurkan segala rasa cinta bahkan kekeluargaan, puluhan orang yang semula saling berbahagia bersama kini saling “meninggalkan” demi berebut sebuah tangga jalur evakuasi.
Untung saja Erik dan kedua saudaranya bisa selamat dari peristiwa itu. Pengalaman liburan yang seharusnya menyenangkan secara keseluruhan berubah seketika karena peristiwa itu, dan karena peristiwa itulah ia juga sadar bahwa setiap keindahan tak mungkin memiliki wajah lainnya, kini ia juga mulai menghargai dan memaklumi apa yang sudah ada di daerahnya, meski pada akhirnya ia malah merasa senang dan ingin merasakannya lagi, hal seperti peristiwa itu.
Cerpen 3
Harga Pahlawan
Cerita oleh: Ananda31
Tak bisa dipungkiri bahwa tanah ini adalah tanah yang memiliki banyak sekali pesona, terutama dalam hal tempat-tempat menarik. Banyak sekali tempat menarik yang bernuansakan modern alias “kekinian” di wilayah ini, dan tempat-tempat wisata itu juga sangat jarang dijumpai dalam keadaan kosong. Orang-orang dari berbagai generasi dan kalangan selalu datang dan membanjiri tempat-tempat tersebut. Canda, tawa, dan kebahagiaan terjadi di sana, tapi bagi Erik bukanlah pemandangan seperti itu yang menarik perhatiannya. Setiap harinya saat berjalan di sini Ia selalu mendapati pemandangan yang sama. Tidak ada hal yang begitu berkesan dengan hal-hal tersebut, begitulah menurutnya. Wilayah ini memanglah terkenal dengan segala keindahannya, namun apakah yang mungkin telah terlupakan?
Itulah sejarah, dan itulah pula yang
menjadi hal yang paling menarik bagi Erik, baginya karena melalui masa yang
gelap dan pahitlah Ia bisa terus mendapati pemandangan itu. Kebanyakan orang
mungkin akan sangat bahagia jika mereka mengunjungi tempat wisata yang indah,
apalagi jika tempat wisata tersebut juga mengusung konsep kekinian, tapi itu
tidak bagi Erik, menurutnya ia jauh berasa seperti “berapi-api” jika ia
mengunjungi ke sebuah wisata sejarah, atau museum, terlebih saat ia melihat langsung
jejak-jejak peninggalan perang kemerdekaan atau perang dunia, karena melalui
hal-hal itu Ia bisa membayangkan kegelapan di masa lalu dan dengan itu pula ia
juga bisa belajar untuk senantiasa menjadi manusia yang dapat melahirkan dan
menjaga perdamaian.
Disamping rasa berapi-apinya itu, Ia
juga merasa terharu jika melihat peninggalan para pejuang, dan foto-foto
mereka, “Apa jadinya kita jika tanpa pengorbanan mereka?” begitulah yang
hatinya tanyakan, “Mengapa untuk hanya melihat perjuangan mereka saja kita
enggan?” terusnya, sambil berdiri di ujung lorong museum yang hanya ada dirinya
di sana.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai jasa pahlawannya” kalimat itu sepertinya tidak pantas untuk
menggambarkan bangsa Indonesia yang seperti saat ini. Menghargai pahlawan
tidaklah cukup melaui kata-kata semata, tapi itu juga harus dibuktikan melalui
perbuatan, yang setidak-tidaknya adalah mau dengan melihat sisa perjuangan
mereka.
“Tapi
biarlah, sebagai individu yang seperti ini mungkin aku tidak akan punya
kekuatan untuk menumbuhkan kesadaran itu kepada mereka, jadi biarlah saja”
Katanya kemudian meninggalkan lorong yang sunyi itu sekaligus meninggalkan
museum itu.
Saat
berjalan keluar dari museum baru pertama kali ini Ia mendapati pemandangan yang
berbeda, di tempat “kekinian” tepat di seberang museum ini orang-orang saling
berbahagia, namun bedanya ada seorang kakek tua dengan pakaian militer lengkap
dengan barretnya terlihat menunggu di sana sambal menggendong sesuatu yang
bertuliskan “sikat sepatu”.
“Kakek
tua itu pastilah merupakan seorang veteran yang dulunya berjuang mengusir
penjajah di wilayah ini jika dilihat dari semua tanda jasa yang melekat di baju
dan barretnya, tapi mengapa ia harus bernasib seperti itu, bukankah segala
perjuangannya di masa lalu itu tak mampu untuk dinilai? Seharusnya sepatu anda
lah yang dibersihkan oleh mereka, dan bukanlah sebaliknya!”
“Ini
mungkin yang pertama kalinya kulihat secara langsung. Percayalah, banyak para
veteran seperti mereka yang bernasib sama dan bahkan lebih buruk di negeri
ini”. “Mereka tak seharusnya mendapatkan perlakuan seperti ini! Apakah yang
sudah terjadi dengan bangsa ini, sehingga tanpa rasa malu apalagi bersalah
mampu menganggap para veteran yang sudah berjuang mati-matian tersebut sebagai
orang tanpa nama?”
Cerpen 4
Bahaya Lisan
Oleh: Ananda31
Jauh
di pedalaman hutan Gunung Kawi. Si Fulan adalah seorang konten kreator yang
bertemakan “pengembara tunggal”. Kala itu hari sudah hampir petang dan dia
masih belum keluar dari hutan tersebut, padahal hutan di area Gunung Kawi terkenal
dengan harimau jawanya dan bahkan mistisnya.
Si
Fulan tentu tahu akan hal itu, namun bukannya menjadi waspada dan mempercepat
langkahnya untuk meninggalkan hutan, Ia malah dengan bodohnya malah meremehkan kedua
hal itu dengan berkata:
“Mana katanya Gunung Kawi angker!?”
Tak
sampai disitu saja, Ia juga dengan bodohnya malah berhenti dan mencuci wajah
pada sebuah sungai, sehingga tak berselang sepuluh detik kemudian, tiba-tiba
terciumlah aroma dupa yang sangat menyengat yang bertiup dari arah barat atau
tepat di belakangnya. Si Fulan seketika langsung panik, karena kejadian
tersebut tidaklah wajar jika terjadi di kedalaman hutan yang berjarak sekitar
empat kilometer dari desa terdekat di arah timur.
Mengetahui
itu, Ia kemudian langsung beranjak dengan tergesa-gesa meninggalkan hutan
tersebut, karena biasanya hal seperti itu berkaitan dengan hal-hal mistis.
Namun sayangnya, semakin Ia mempercepat langkahnya, maka semakin tercium pula
aroma dupa tersebut, sampai kemudian Ia pun berdoa dan membaca Ayat Kursi dan
surah An-Nas seraya mempertahankan kecepatannya.
Dan syukur, alhamdulillah. Aroma tersebut kini menghilang, itu tepat setelah Ia berada sekitar dua ratus meter dari titik awal tercium aroma itu. Kini Ia pun tersadar bahwa lisan itu sangatlah berbahaya bila tidak dipertanggungjawabkan.
Cerpen 5
Bahaya Kelakuan
Oleh: Ananda31
Si
Fulan adalah seorang konten kreator petualang tunggal. Saat itu Ia sedang
menjelajahi hutan, yang dimana hal itu memanglah kegiatannya.
Saat itu hutan sedang dalam kondisi
berkabut, dan kabut tersebut juga tak kunjung menghilang. Kini hari juga sudah
petang, sehingga Ia tak ada pilihan lain selain beristirahat.
Ia kemudian mendirikan tenda pada
tempat yang setidaknya cukup untuk sebuah tenda kecil berdiri, dan kebetulan di
tempat itu juga terdapat sebuah tempat seperti tempat sesembahan, meski begitu Ia
tak ambil pusing dan malah mendirikan tenda tepat di sebelah tempat sesembahan itu,
dan tak sampai di situ saja, Ia bahkan mengambil sebuah kentang yang cukup
besar yang ada di tempat sesembahan itu lalu merebusnya.
“Orang kelaparan kok!” katanya
dengan ringan, dan Ia pun akhirnya melahap kentang itu dan langsung beranjak
tidur setelahnya.
Terlelaplah Ia, namun entah darimana, tiba-tiba terdengarlah suara langkah kaki seseorang, sehingga Itu membuatnya terbangun.
Ia memilih tak mempedulikan itu dan
hendak terlelap kembali, namun bayangan orang itu malah terlihat sudah berada tepat
di sebelah kanan tendanya dan seketika mengurungkan seluruh niatannya tersebut.
Ia tentu merasa aneh, bahkan menjadi
cukup gemetaran mengingat dirinya jauh berada di keadalaman hutan, sehingga Ia
memberanikan diri untuk membuka tenda dan memastikannya secara langsung.
Sebelumnya Ia sempat berpikir itu
adalah orang yang merawat tempat sesembahan di dekat tendanya, namun saat Ia
lihat ternyata tidak ada siapapun di sana.
Kini Ia tentu tersadar atas
tindakannya yang sebelumnya, sehingga Ia pun langsung menutup kembali tendanya
dan segera memaksa dirinya untuk tidur berharap hari segera berganti, namun:
"AAAAAA!!!"
Teriaknya, dan itu terjadi saat Ia meletakkan kepalanya di tanah dan menghadap langit. Entah apa yang terjadi di dalam tendanya itu, namun itu tampak telah berlumuran oleh darah.
Silakan disalin, tapi beritahu kami ya! ;)
BalasHapus